Powered By Blogger

Selasa, 10 April 2012

Dari Hati

dirimu yang tak tak pernah perduli,,,,,,

kini ku lelah mengejar cinta lagi,,,
ingin tetap di sini menanti sebuah keajaiban cinta,,
sahabat.... pacar,,,,, kini pergi karna keegoisan yang tak bisa di kendalikan,, tak ingin menyalah kan diri namun kadang memang kesalahan tak tersadarkan,,,,

sahabat,, bukan sahabat seperti dia yang kuharapkan, menusuk sahabt dari belakang hingga menebus dan menghanciurkan tulang rusukku,,,, begitu sakit dan sulit terobati,,,

pacar,,,,, mengambil semua milikku dan mencapakkan serta menghempasknku kedalam titik hitam kepedihan,,,,



oh,, KEHIDUPAN

Rabu, 28 Maret 2012

SAHABAT,,,,,

entah mengapa hati ini tak bisa menerima keputusanmu,,,,,,
dirimu selalu membayangi di setiap detak jantung dan aliran darah,,,
aku telah memutuskan melupakan dirimu,,, takkan mengganggu kehidupanmu lagi,,
maaf selama ini aku selalu menyusahkan dirimu,,,
jujur sulit semua ini untukku,,,

UU NO 11 TAHUN 2009



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 11 TAHUN 2009

TENTANG

KESEJAHTERAAN SOSIAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Pancasila dan  Undang-Undang Dasar Negara 

Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan 

negara mempunyai tanggung jawab untuk 

melindungi segenap bangsa Indonesia dan 

memajukan kesejahteraan umum dalam rangka 

mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat 

Indonesia;

b.   bahwa untuk mewujudkan kehidupan yang layak 

dan bermartabat, serta untuk memenuhi hak atas 

kebutuhan dasar warga negara demi tercapainya 

kesejahteraan sosial, negara menyelenggarakan 

pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial 

secara terencana, terarah, dan berkelanjutan;

c. bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang 

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial 

sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan 

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga 

perlu diganti;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana 

dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu 

membentuk Undang-Undang tentang Kesejahteraan 

Sosial;

Mengingat: . . .- 2 -

Mengingat : Pasal 18A, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 

ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2), 

dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara 

Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksudkan dengan:

1. Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya 

kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga 

negara agar dapat hidup layak dan  mampu 

mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan  

fungsi sosialnya.

2. Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya 

yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang 

dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan 

masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna 

memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, 

yang  meliputi  rehabilitasi sosial, jaminan sosial, 

pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.

3. Tenaga . . .- 3 -

3. Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang 

dididik dan dilatih secara profesional untuk 

melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan 

penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang 

bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta 

yang ruang lingkup kegiatannya di bidang 

kesejahteraan sosial.

4. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang 

bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta 

yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan 

sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang 

diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau 

pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk 

melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan 

penanganan masalah sosial.

5. Relawan Sosial adalah seseorang dan/atau kelompok 

masyarakat, baik yang berlatar belakang pekerjaan 

sosial maupun bukan berlatar belakang pekerjaan 

sosial, tetapi melaksanakan kegiatan penyelenggaraan 

di  bidang sosial bukan di instansi sosial pemerintah 

atas kehendak sendiri dengan atau tanpa imbalan.

6. Pelaku Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah 

individu, kelompok, lembaga kesejahteraan sosial, 

dan masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial.

7. Lembaga Kesejahteraan Sosial adalah organisasi 

sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan 

penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk 

oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum 

maupun yang tidak berbadan hukum.

8. Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi 

dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang 

mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar 

dalam kehidupan masyarakat.

9. Perlindungan . . .- 4 -

9. Perlindungan Sosial adalah semua upaya yang 

diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko 

dari guncangan dan kerentanan sosial.

10. Pemberdayaan Sosial adalah semua upaya yang 

diarahkan untuk menjadikan warga negara yang 

mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga 

mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.

11. Jaminan Sosial adalah skema yang melembaga untuk 

menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi 

kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

12. Warga Negara adalah warga negara Republik 

Indonesia yang ditetapkan berdasarkan peraturan 

perundang-undangan. 

13. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, 

adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang 

kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia 

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

14. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau 

walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur 

penyelenggara pemerintahan daerah.

15. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan 

sosial.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial dilakukan 

berdasarkan asas:

a. kesetiakawanan; 

b. keadilan . . .- 5 -

b. keadilan;

c. kemanfaatan;

d. keterpaduan;

e. kemitraan;

f. keterbukaan;

g. akuntabilitas;

h. partisipasi;

i. profesionalitas; dan

j. keberlanjutan.

Pasal 3

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial bertujuan:

a. meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan 

kelangsungan hidup;

b. memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai 

kemandirian;

c. meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam 

mencegah dan menangani masalah kesejahteraan 

sosial;

d. meningkatkan kemampuan, kepedulian dan 

tanggungjawab sosial dunia usaha dalam 

penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara 

melembaga dan berkelanjutan; 

e. meningkatkan kemampuan dan kepedulian 

masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan 

sosial secara melembaga dan berkelanjutan; dan

f. meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial.

BAB III . . .- 6 -

BAB III

PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 4

Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial.

Pasal 5

(1) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan 

kepada:

a. perseorangan;

b. keluarga;

c. kelompok; dan/atau

d. masyarakat.

(2) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan kepada 

mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak 

secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah 

sosial:

a. kemiskinan;

b. ketelantaran;

c. kecacatan;

d. keterpencilan;

e. ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku;

f. korban bencana; dan/atau

g. korban tindak kekerasan, eksploitasi dan 

diskriminasi.

Pasal 6 . . .- 7 -

Pasal 6

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:

a. rehabilitasi sosial;

b. jaminan sosial;

c. pemberdayaan sosial; dan

d. perlindungan sosial.

Bagian Kedua

Rehabilitasi Sosial

Pasal 7

(1) Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan 

dan mengembangkan kemampuan seseorang yang 

mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan 

fungsi sosialnya secara wajar.

(2) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada     

ayat (1) dapat dilaksanakan secara persuasif, 

motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat 

maupun panti sosial.

(3) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat 

(2) diberikan dalam bentuk:

a. motivasi dan diagnosis psikososial;

b. perawatan dan pengasuhan;

c. pelatihan vokasional dan pembinaan 

kewirausahaan;

d. bimbingan mental spiritual; 

e. bimbingan fisik; 

f. bimbingan sosial dan konseling psikososial;

g. pelayanan aksesibilitas; 

h. bantuan dan asistensi sosial;

i. bimbingan . . .- 8 -

i. bimbingan resosialisasi; 

j. bimbingan lanjut; dan/atau

k. rujukan.

Pasal 8

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi 

sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga

Jaminan Sosial

Pasal 9

(1) Jaminan sosial dimaksudkan untuk: 

a. menjamin fakir miskin, anak yatim piatu 

terlantar, lanjut usia terlantar,  penyandang 

cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, 

eks penderita penyakit kronis yang mengalami 

masalah ketidakmampuan sosial-ekonomi agar 

kebutuhan dasarnya terpenuhi.

b. menghargai pejuang, perintis kemerdekaan, dan 

keluarga pahlawan atas jasa-jasanya.

(2) Jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

huruf a diberikan dalam bentuk asuransi 

kesejahteraan sosial dan bantuan langsung 

berkelanjutan.

(3) Jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

huruf b diberikan dalam bentuk tunjangan 

berkelanjutan.

Pasal 10 . . .- 9 -

Pasal 10

(1) Asuransi kesejahteraan sosial diselenggarakan untuk 

melindungi warga negara yang tidak mampu 

membayar premi agar mampu memelihara dan 

mempertahankan taraf kesejahteraan sosialnya.

(2) Asuransi kesejahteraan sosial  sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk 

bantuan iuran oleh Pemerintah.

Pasal 11

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan jaminan 

sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat

Pemberdayaan Sosial

Pasal 12

(1) Pemberdayaan sosial dimaksudkan untuk: 

a. memberdayakan seseorang, keluarga, kelompok, 

dan masyarakat yang mengalami masalah 

kesejahteraan  sosial agar mampu memenuhi 

kebutuhannya secara mandiri.

b. meningkatkan peran serta lembaga dan/atau 

perseorangan sebagai potensi dan sumber daya 

dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

(2) Pemberdayaan sosial sebagaimana dimaksud pada 

ayat (1) dilakukan melalui:

a. peningkatan kemauan dan kemampuan;

b. penggalian potensi dan sumber daya;

c. penggalian nilai-nilai dasar;

d. pemberian . . .- 10 -

d. pemberian akses; dan/atau

e. pemberian bantuan usaha.

(3) Pemberdayaan sosial sebagaimana dimaksud pada 

ayat (1) huruf a dilakukan dalam bentuk:

a. diagnosis dan pemberian motivasi;

b. pelatihan keterampilan;

c. pendampingan;

d. pemberian stimulan modal, peralatan usaha, 

dan tempat usaha;

e. peningkatan akses pemasaran hasil usaha;

f. supervisi dan advokasi sosial;

g. penguatan keserasian sosial;

h. penataan lingkungan; dan/atau

i. bimbingan lanjut.

(4) Pemberdayaan sosial sebagaimana dimaksud  pada 

ayat (1) huruf b dilakukan dalam bentuk:

a. diagnosis dan pemberian motivasi;

b. penguatan kelembagaan masyarakat;

c. kemitraan dan penggalangan dana; dan/atau

d. pemberian stimulan.

Pasal 13

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan 

pemberdayaan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima . . .- 11 -

Bagian Kelima

Perlindungan Sosial

Pasal 14

(1) Perlindungan sosial dimaksudkan untuk mencegah 

dan menangani risiko dari guncangan dan 

kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, 

dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya 

dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar 

minimal.

(2) Perlindungan sosial sebagaimana dimaksud pada 

ayat (1) dilaksanakan melalui:

a. bantuan sosial;

b. advokasi sosial; dan/atau

c. bantuan hukum.

Pasal 15

(1) Bantuan sosial dimaksudkan agar seseorang, 

keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang 

mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat 

tetap hidup secara wajar.

(2) Bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

bersifat sementara dan/atau  berkelanjutan dalam 

bentuk:

a. bantuan langsung;

b. penyediaan aksesibilitas; dan/atau

c. penguatan kelembagaan.

Pasal 16 . . .- 12 -

Pasal 16

(1) Advokasi sosial dimaksudkan untuk melindungi dan 

membela seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau

masyarakat yang dilanggar haknya.

(2) Advokasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

diberikan dalam bentuk penyadaran hak dan 

kewajiban, pembelaan, dan pemenuhan hak.

Pasal 17

(1) Bantuan hukum diselenggarakan untuk mewakili 

kepentingan warga negara yang menghadapi 

masalah hukum dalam pembelaan atas hak, baik di 

dalam maupun di luar pengadilan. 

(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 

(1) diberikan dalam bentuk pembelaan dan 

konsultasi hukum. 

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan 

perlindungan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB IV

PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Pasal 19 

Penanggulangan  kemiskinan merupakan kebijakan, 

program, dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, 

keluarga, kelompok  dan/atau masyarakat yang tidak 

mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian 

dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi 

kemanusiaan.

Pasal 20 . . .- 13 -

Pasal 20

Penanggulangan kemiskinan ditujukan untuk:

a. meningkatkan kapasitas dan mengembangkan 

kemampuan dasar serta kemampuan berusaha 

masyarakat miskin;

b. memperkuat peran masyarakat miskin dalam 

pengambilan keputusan kebijakan publik yang 

menjamin  penghargaan, perlindungan, dan 

pemenuhan hak-hak dasar;

c. mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, 

politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat 

miskin dapat memperoleh kesempatan seluasluasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan 

peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan; dan

d. memberikan rasa aman bagi kelompok masyarakat 

miskin dan rentan. 

Pasal 21

Penanggulangan kemiskinan dilaksanakan dalam bentuk:

a. penyuluhan dan bimbingan sosial;

b. pelayanan sosial;

c. penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha;

d. penyediaan akses pelayanan kesehatan dasar;

e. penyediaan akses pelayanan pendidikan dasar;

f. penyediaan akses pelayanan perumahan dan

permukiman; dan/atau

g. penyediaan akses pelatihan, modal usaha, dan 

pemasaran hasil usaha.

Pasal 22 . . .- 14 -

Pasal 22

Pelaksanaan penanggulangan kemiskinan sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 19 menjadi tanggung jawab 

Menteri.

Pasal 23

Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan 

kemiskinan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V

TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 24

(1) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial menjadi 

tanggung jawab:

a. Pemerintah; dan

b. Pemerintah daerah.

(2) Tanggung jawab penyelenggaraan kesejahteraan 

sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a 

dilaksanakan oleh Menteri.

(3) Tanggung . . .- 15 -

(3) Tanggung jawab penyelenggaraan kesejahteraan 

sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b 

dilaksanakan:

a. untuk tingkat provinsi oleh gubernur;

b. untuk tingkat kabupaten/kota oleh 

bupati/walikota.

Bagian Kedua

Pemerintah

Pasal 25

Tanggung jawab Pemerintah dalam menyelenggarakan 

kesejahteraan sosial meliputi: 

a. merumuskan kebijakan dan program 

penyelenggaraan kesejahteraan sosial;

b. menyediakan akses penyelenggaraan kesejahteraan 

sosial;

c. melaksanakan rehabilitasi sosial,  jaminan sosial, 

pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial sesuai 

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada 

masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan 

sosial;

e. mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta 

dunia  usaha dalam melaksanakan tanggung jawab 

sosialnya;

f. meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber 

daya manusia di bidang kesejahteraan sosial;

g. menetapkan . . 

.- 16 -

g. menetapkan standar pelayanan, registrasi, 

akreditasi, dan sertifikasi pelayanan kesejahteraan 

sosial;

h. melaksanakan analisis dan audit dampak sosial 

terhadap kebijakan dan aktivitas pembangunan;

i. menyelenggarakan pendidikan dan penelitian 

kesejahteraan sosial;

j. melakukan pembinaan dan pengawasan serta 

pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial;

k. mengembangkan jaringan kerja dan koordinasi lintas 

pelaku penyelenggaraan kesejahteraan sosial tingkat 

nasional dan internasional dalam penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial; 

l. memelihara taman makam pahlawan dan makam 

pahlawan nasional; 

m. melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan 

kesetiakawanan sosial; dan

n. mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial dalam Anggaran Pendapatan 

dan Belanja Negara.

Pasal 26

Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial meliputi:

a. penetapan kebijakan dan program penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial selaras dengan kebijakan 

pembangunan nasional;

b. penetapan . . .- 17 -

b. penetapan standar pelayanan minimum, registrasi, 

akreditasi, dan sertifikasi  pelayanan  kesejahteraan 

sosial;

c. koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial;

d. pelaksanaan kerja sama dalam penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial dengan  negara lain, dan 

lembaga kesejahteraan sosial, baik nasional maupun 

internasional;

e. pemberian izin dan pengawasan pengumpulan 

sumbangan dan penyaluran bantuan sosial; 

f. pendayagunaan dana yang berasal dari dunia usaha 

dan masyarakat; 

g. pemeliharaan taman makam pahlawan dan makam 

pahlawan nasional; dan

h. pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan 

kesetiakawanan sosial.

Bagian Ketiga

Pemerintah Daerah

Pasal 27

Tanggung jawab pemerintah provinsi dalam 

menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi:

a. mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial dalam anggaran pendapatan 

dan belanja daerah;

b. melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial 

lintas kabupaten/kota, termasuk dekonsentrasi  dan 

tugas pembantuan;

c. memberikan . . .- 18 -

c. memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada 

masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan 

sosial;

d. memelihara taman makam pahlawan; dan

e. melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan 

kesetiakawanan sosial.

Pasal 28

Wewenang pemerintah provinsi  dalam penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial meliputi:

a. penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan 

sosial yang bersifat lintas kabupaten/kota  selaras 

dengan kebijakan pembangunan nasional di bidang 

kesejahteraan sosial;

b. penetapan kebijakan kerja sama  dalam 

penyelenggaraan kesejahteraan sosial dengan 

lembaga kesejahteraan sosial nasional;

c. pemberian izin dan pengawasan  pengumpulan 

sumbangan dan penyaluran bantuan sosial sesuai 

dengan kewenangannya;

d. koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial;

e. pemeliharaan taman makam pahlawan; dan 

f. pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan 

kesetiakawanan sosial.

Pasal 29

Tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota dalam 

menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi:

a. mengalokasikan . . .- 19 -

a. mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial dalam anggaran pendapatan 

dan belanja daerah;

b. melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial 

di wilayahnya/bersifat lokal, termasuk tugas 

pembantuan;

c. memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada 

masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan 

sosial;

d. memelihara taman makam pahlawan; dan

e. melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan 

kesetiakawanan sosial.

Pasal 30

Wewenang pemerintah kabupaten/kota dalam 

penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:

a. penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan 

sosial yang bersifat lokal selaras dengan kebijakan 

pembangunan nasional dan provinsi di bidang 

kesejahteraan sosial;

b. koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial di wilayahnya;

c. pemberian izin dan pengawasan  pengumpulan 

sumbangan dan penyaluran bantuan sosial sesuai 

dengan kewenangannya;

d. pemeliharaan taman makam pahlawan; dan

e. pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan 

kesetiakawanan sosial.

Pasal 31 . . .- 20 -

Pasal 31

Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan 

koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan 

pengendalian penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

BAB VI

SUMBER DAYA PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN 

SOSIAL

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 32

Sumber daya penyelenggaraan kesejahteraan sosial 

meliputi:

a. sumber daya manusia;

b. sarana dan prasarana; serta

c. sumber pendanaan.

Bagian Kedua

Sumber Daya Manusia

Pasal 33

(1) Sumber daya  manusia sebagaimana dimaksud 

dalam Pasal 32 huruf a terdiri atas:

a. tenaga kesejahteraan sosial;

b. pekerja sosial profesional;

c.  relawan  . . .- 21 -

c. relawan sosial; dan

d. penyuluh sosial.

(2) Tenaga kesejahteraan sosial, pekerja sosial 

profesional, dan penyuluh sosial sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf 

d sekurang-kurangnya memiliki kualifikasi:

a. pendidikan di bidang kesejahteraan sosial;

b. pelatihan dan keterampilan pelayanan sosial; 

dan/atau

c. pengalaman melaksanakan pelayanan sosial.

Pasal 34

(1) Tenaga kesejahteraan sosial, pekerja sosial

profesional, dan penyuluh sosial sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a, huruf b, 

dan huruf d dapat memperoleh:

a. pendidikan;

b. pelatihan;

c. promosi;

d. tunjangan; dan/atau

e. penghargaan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan 

perundang-undangan. 

Bagian Ketiga . . .- 22 -

Bagian Ketiga

Sarana dan Prasarana

Pasal 35

(1) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 32 huruf b meliputi:

a. panti sosial;

b. pusat rehabilitasi sosial;

c. pusat pendidikan dan pelatihan;

d. pusat kesejahteraan sosial;

e. rumah singgah;

f. rumah perlindungan sosial.

(2) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada 

ayat (1) memiliki standar minimum yang ditetapkan 

oleh Pemerintah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar sarana dan 

prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat

Sumber Pendanaan

Pasal 36

(1) Sumber pendanaan sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 32 huruf c meliputi:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

b. anggaran pendapatan dan belanja daerah;

c. sumbangan . . .- 23 -

c. sumbangan masyarakat;

d. dana yang disisihkan dari badan usaha sebagai 

kewajiban dan tanggung jawab sosial dan 

lingkungan;

e. bantuan asing sesuai  dengan kebijakan 

Pemerintah dan peraturan perundangundangan; serta

f. sumber pendanaan yang sah berdasarkan 

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengalokasian sumber pendanaan sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b 

dilaksanakan sesuai  dengan ketentuan peraturan 

perundang-undangan.

(3) Pengumpulan dan penggunaan sumber pendanaan 

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf 

d, huruf e, dan huruf f dilaksanakan sesuai dengan 

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 37

Usaha pengumpulan dan penggunaan sumber 

pendanaan yang berasal dari masyarakat bagi 

kepentingan kesejahteraan sosial selain sebagaimana 

ditetapkan dalam Pasal 36 ayat (3) dilaksanakan oleh 

Menteri,  gubernur,  bupati/walikota sesuai dengan 

kewenangannya.

BAB VII . . .- 24 -

BAB VII

PERAN MASYARAKAT

Pasal 38

(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluasluasnya untuk berperan dalam penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial.

(2) Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat 

dilakukan oleh:

a. perseorangan;

b. keluarga;

c. organisasi keagamaan;

d. organisasi sosial kemasyarakatan; 

e. lembaga swadaya masyarakat;

f. organisasi profesi; 

g. badan usaha; 

h. lembaga kesejahteraan sosial; dan

i. lembaga kesejahteraan sosial asing.

(3) Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 

dilakukan untuk mendukung keberhasilan 

penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Pasal 39

(1) Organisasi profesi sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 38 ayat (2) huruf f, terdiri atas :

a. ikatan pekerja sosial profesional;

b. lembaga pendidikan pekerjaan sosial; dan

c. lembaga kesejahteraan sosial.

(2)  Untuk . . .- 25 -

(2) Untuk menjaga dan menegakkan profesionalisme, 

organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat 

(1) menetapkan kode etik.

Pasal 40

Peran badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

38 huruf  g dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial 

dilakukan sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan 

sesuai  dengan ketentuan  peraturan perundangundangan.

Pasal 41

Pemerintah memberikan penghargaan dan dukungan 

kepada masyarakat yang berperan dalam 

penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Pasal 42

(1) Untuk melaksanakan peran masyarakat dalam 

penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat 

dilakukan koordinasi antar lembaga/organisasi 

sosial. 

(2) Pelaksanaan koordinasi peyelenggaraan 

kesejahteraan sosial oleh masyarakat sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan 

membentuk suatu lembaga koordinasi kesejahteraan 

sosial nonpemerintah dan bersifat terbuka, 

independen, serta mandiri.

(3) Lembaga . . .- 26 -

(3) Lembaga koordinasi kesejahteraan sosial 

nonpemerintah, sebagaimana dimaksud pada ayat 

(2), dibentuk pada tingkat nasional, provinsi, dan 

kabupaten/kota.

(4) Lembaga koordinasi kesejahteraan sosial baik pada 

tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota 

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat

otonom, dan bukan merupakan lembaga yang 

mempunyai hubungan hierarki.

Pasal 43

Lembaga koordinasi kesejahteraan sosial mempunyai 

tugas:

a. mengkoordinasikan organisasi/lembaga sosial;

b. membina organisasi/lembaga sosial;

c. mengembangkan  model  pelayanan  kesejahteraan 

sosial;

d. menyelenggarakan forum komunikasi dan konsultasi 

penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan

e. melakukan advokasi sosial dan advokasi anggaran 

terhadap lembaga/organisasi sosial.

Pasal 44

Pembentukan lembaga koordinasi sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4) dilaksanakan sesuai 

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 45 . . .- 27 -

Pasal 45

Ketentuan lebih lanjut mengenai peran masyarakat 

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII

PENDAFTARAN DAN PERIZINAN LEMBAGA 

KESEJAHTERAAN SOSIAL

Pasal 46

(1) Setiap lembaga yang menyelenggarakan 

kesejahteraan sosial wajib mendaftar kepada 

kementerian atau instansi di bidang sosial sesuai 

dengan wilayah kewenangannya.

(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

dilaksanakan dengan cepat, mudah, dan tanpa 

biaya.

Pasal 47

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mendata 

lembaga yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial.

Pasal 48

Lembaga kesejahteraan sosial asing dalam  melakukan 

penyelenggaraan  kesejahteraan sosial  sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf  i wajib 

memperoleh izin dan melaporkan kegiatannya kepada 

Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan 

kewenangannya.

Pasal 49 . . .- 28 -

Pasal 49

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud  

dalam Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 dikenai sanksi 

administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara dari kegiatan;

c. pencabutan izin; dan/atau

d. denda administratif.

Pasal 50

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran 

bagi lembaga yang menyelenggarakan kesejahteraan 

sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, dan 

pemberian izin penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi 

lembaga kesejahteraan sosial asing sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 48, serta mekanisme pengenaan 

sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

49 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX

AKREDITASI DAN SERTIFIKASI

Pasal 51

(1) Akreditasi dilakukan terhadap lembaga di bidang 

kesejahteraan sosial.

(2) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

dilaksanakan untuk menentukan tingkat kelayakan 

dan standardisasi penyelenggaraan kesejahteraan 

sosial.

Pasal 52 . . .- 29 -

Pasal 52

(1) Sertifikasi dilakukan untuk menentukan kualifikasi 

dan kompetensi yang sesuai di bidang 

penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

(2) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

berbentuk sertifikat.

(3) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 

diberikan kepada pekerja sosial profesional dan 

tenaga kesejahteraan sosial yang telah 

menyelesaikan suatu pendidikan dan/atau 

pelatihan.

(4) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada 

ayat (2) diberikan kepada pekerja sosial profesional 

dan tenaga kesejahteraan sosial oleh lembaga 

sertifikasi. 

(5) Pemberian sertifikat sebagaimana dimaksud pada 

ayat (4) dilakukan atas rekomendasi organisasi 

profesi sesuai dengan kewenangannya sebagai 

pengakuan terhadap kompetensi melakukan praktek 

pekerjaan sosial.

(6) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) 

diberikan setelah lulus uji kompetensi sebagai 

pengakuan terhadap kompetensi dalam melakukan 

penyelenggaraan kesejahteraan sosial tertentu.

Pasal 53

Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi dan sertifikasi 

diatur dalam Peraturan Menteri. 

BAB X . . .- 30 -

BAB X

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN SERTA PEMANTAUAN 

DAN EVALUASI

Pasal 54

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan 

pembinaan dan pengawasan terhadap aktivitas 

pelaku penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai 

dengan kewenangannya masing-masing.

(2) Masyarakat dapat melakukan pembinaan dan 

pengawasan terhadap aktivitas pelaku 

penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Pasal 55

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan 

pemantauan dan evaluasi  terhadap penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial sesuai dengan kewenangannya.

(2) Pemantauan dan evaluasi  sebagaimana dimaksud 

pada ayat (1) dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas 

dan pengendalian mutu penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial.

Pasal 56

Pembinaan dan pengawasan, serta pemantauan dan 

evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan 

Pasal 55  dilaksanakan sesuai dengan ketentuan 

peraturan perundang-undangan.

BAB XI . . .- 31 -

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 57

Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, 

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang 

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial 

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 

Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara  Republik 

Indonesia  Nomor 3039) dicabut dan dinyatakan tidak 

berlaku.

Pasal 58

Peraturan  pelaksanaan dari  Undang-Undang Nomor 6 

Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok 

Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara  Republik 

Indonesia  Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran 

Negara  Republik Indonesia  Nomor 3039) yang ada pada 

saat diundangkannya Undang-Undang ini, masih tetap 

berlaku sepanjang tidak bertentangan  atau diganti 

berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 59

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus sudah 

ditetapkan  paling lambat 1 (satu) tahun sejak 

diundangkannya Undang-Undang ini.

Pasal 60

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 

diundangkan.

Agar. . .- 32 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan  

pengundangan Undang-Undang ini dengan 

penempatannya dalam Lembaran Negara Republik 

Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 16 Januari 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                                ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 16 Januari 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 12PENJELASAN

A T A S

UNDANG-UNDANG  REPUBLIK INDONESIA

     NOMOR  11  TAHUN 2009……….

TENTANG

KESEJAHTERAAN SOSIAL

I. UMUM

Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari 

upaya  mencapai tujuan bangsa yang diamanatkan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sila kelima 

Pancasila menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat 

Indonesia, dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik 

Indonesia Tahun  1945 mengamanatkan negara untuk melindungi 

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, 

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, 

dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, 

perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini 

menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak 

atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh 

pelayanan sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga  negara 

yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak 

dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.

Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 

Tahun 1945 mengamanatkan kewajiban negara untuk memelihara 

fakir miskin dan anak terlantar. Bagi fakir miskin dan anak terlantar 

seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik 

Indonesia Tahun 1945, Pemerintah dan pemerintah daerah 

memberikan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, 

dan perlindungan sosial sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban 

negara dalam menjamin terpenuhinya hak atas kebutuhan dasar 

warga negara yang miskin dan tidak mampu.

Dalam . . .- 2 -

Dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, diperlukan peran 

masyarakat yang seluas-luasnya, baik perseorangan, keluarga, 

organisasi keagamaan,  organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga 

swadaya masyarakat, organisasi profesi, badan usaha, lembaga 

kesejahteraan sosial, maupun lembaga kesejahteraan sosial asing 

demi terselenggaranya kesejahteraan sosial yang terarah, terpadu, 

dan berkelanjutan.

Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warga negara, serta 

untuk menghadapi tantangan dan perkembangan kesejahteraan 

sosial di tingkat lokal, nasional, dan global, perlu dilakukan 

penggantian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang 

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Materi pokok yang 

diatur dalam Undang-Undang ini, antara lain, pemenuhan hak atas 

kebutuhan dasar, penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara

komprehensif dan profesional, serta perlindungan masyarakat. Untuk 

menghindari penyalahgunaan kewenangan dalam penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial, Undang-Undang ini juga mengatur pendaftaran 

dan perizinan serta sanksi administratif bagi lembaga yang 

menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Dengan demikian, 

penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat memberikan keadilan 

sosial bagi warga negara untuk dapat hidup secara layak dan 

bermartabat.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas. 

Pasal 2 

Huruf a

Yang dimaksud dengan “asas kesetiakawanan” adalah 

dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus 

dilandasi oleh kepedulian sosial untuk membantu orang 

yang membutuhkan pertolongan dengan empati dan 

kasih sayang (Tat Twam Asi).

Huruf b . . .- 3 -

Huruf b 

Yang dimaksud  dengan “asas keadilan” adalah dalam 

penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus 

menekankan pada aspek pemerataan, tidak 

diskriminatif dan keseimbangan antara hak dan 

kewajiban.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah 

dalam penyelenggaraan  kesejahteraan sosial harus 

memberi manfaat bagi peningkatan kualitas hidup 

warga negara.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah 

dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus 

mengintegrasikan berbagai komponen yang terkait 

sehingga dapat berjalan secara terkoordinir dan 

sinergis.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “asas kemitraan” adalah dalam 

menangani masalah  kesejahteraan  sosial diperlukan 

kemitraan antara Pemerintah dan masyarakat, 

Pemerintah sebagai penanggung jawab dan masyarakat 

sebagai mitra Pemerintah dalam menangani 

permasalahan  kesejahteraan  sosial dan peningkatan 

kesejahteraan sosial.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah 

memberikan akses yang seluas-luasnya kepada 

masyarakat untuk mendapatkan informasi yang terkait 

dengan penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Huruf g . . .- 4 -

Huruf g

Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah 

dalam setiap penyelenggaraan kesejahteraan sosial 

harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan 

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Huruf  h

Yang dimaksud dengan “asas partisipasi” adalah dalam 

setiap  penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus 

melibatkan seluruh komponen masyarakat.

Huruf i

Yang dimaksud dengan “asas profesionalitas” adalah 

dalam  setiap penyelenggaraan kesejahteraan sosial 

kepada masyarakat agar  dilandasi dengan 

profesionalisme sesuai dengan lingkup tugasnya dan 

dilaksanakan seoptimal mungkin.

Huruf j

Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan” adalah 

dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial 

dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga 

tercapai kemandirian.

Pasal   3

Huruf  a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “memulihkan fungsi sosial” 

adalah pengembangan dan peningkatan kualitas diri, 

baik secara psikologis, fisik, sosial, maupun potensi diri 

lainnya. 

Huruf  c

Cukup jelas.     

Huruf d . . .- 5 -

Huruf  d

Cukup jelas.

Huruf  e

Cukup jelas.

Huruf  f

Cukup jelas.

Pasal  4

Cukup jelas.

Pasal 5 

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1) 

Seseorang yang mengalami disfungsi sosial antara lain 

penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan 

mental, tuna susila, gelandangan, pengemis, eks 

penderita penyakit kronis, eks narapidana, eks pecandu 

narkotika, pengguna psikotropika sindroma 

ketergantungan, orang dengan HIV/AIDS (ODHA),

korban tindak kekerasan, korban bencana, korban 

perdagangan orang, anak terlantar, dan anak dengan 

kebutuhan khusus.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “koersif” yaitu tindakan 

pemaksaan dalam proses rehabilitasi sosial. 

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 8 . . .- 6 -

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)      

Yang dimaksud dengan “asuransi kesejahteraan sosial” 

yaitu asuransi yang secara khusus diberikan kepada 

warga negara tidak mampu dan tidak terakses oleh 

sistem asuransi sosial pada umumnya yang berbasis 

pada kontribusi peserta.

Yang dimaksud dengan “bantuan langsung 

berkelanjutan” yaitu bantuan yang diberikan secara 

terus menerus untuk mempertahankan taraf 

kesejahteraan sosial dan upaya untuk mengembangkan 

kemandirian.

Ayat (3) 

Yang dimaksud dengan “tunjangan berkelanjutan” yaitu 

bantuan yang diberikan kepada perintis kemerdekaan 

dan putra-putri pahlawan nasional  antara lain  dalam  

bentuk tunjangan kesehatan dan tunjangan 

pendidikan.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Ayat (1)

Huruf a . . .- 7 -

Huruf a

Yang dimaksud dengan “yang mengalami masalah 

kesejahteraan  sosial” yaitu mereka yang miskin, 

terpencil, rentan sosial  ekonomi.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “lembaga dan/atau 

perseorangan” antara lain organisasi sosial, 

lembaga konsultasi kesejahteraan keluarga, 

karang taruna, pekerja sosial masyarakat.

Yang dimaksud dengan “potensi dan sumber daya 

dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial”,  

antara lain: nilai kepahlawanan, kejuangan, dan 

keperintisan, kesetiakawanan sosial dan kearifan 

lokal, peranserta organisasi sosial/lembaga sosial 

swadaya masyarakat, kerelawanan sosial (tenaga 

kesejahteraan sosial masyarakat, karang taruna, 

pekerja sosial masyarakat), tanggung jawab sosial 

dunia usaha, penggalangan dana sosial, dan 

ketersediaan sarana dan  prasarana pelayanan 

kesejahteraan sosial.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14 . . .- 8 -

Pasal 14

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “guncangan dan kerentanan 

sosial” yaitu  keadaan tidak stabil yang terjadi secara 

tiba-tiba sebagai akibat dari situasi krisis sosial, 

ekonomi, politik, bencana, dan fenomena alam.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Bentuk  bantuan sosial antara lain makanan pokok, 

pakaian, tempat tinggal (rumah penampungan 

sementara), dana tunai, perawatan kesehatan dan obatobatan, akses pelayanan dasar (kesehatan, pendidikan), 

bimbingan teknis/supervisi, dan penyediaan 

pemakaman.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21 . . .- 9 -

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28 

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31 

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34 . . .- 10 -

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Yang termasuk pusat kesejahteraan sosial antara 

lain pesantren dan rumah adat.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38 . . .- 11 -

Pasal 38

Ayat (1) 

Cukup jelas.

Ayat (2)  

Huruf a 

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Yang  termasuk “organisasi sosial 

kemasyarakatan” antara lain organisasi 

kepemudaan, dan  paguyuban.

Huruf e 

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf  h 

Cukup jelas.

Huruf i 

Cukup jelas.

Ayat (3) 

Cukup jelas.

Pasal 39 . . .- 12 -

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52 . . .- 13 -

Pasal 52

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “lembaga sertifikasi” yaitu 

lembaga independen yang menjamin mutu kompetensi 

dan kualifikasi bagi pekerja sosial dan tenaga 

kesejahteraan sosial dalam pelayanan kesejahteraan 

sosial.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58 . . .- 14 -

Pasal 58

Cukup jelas.  

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4967